Sabtu, 17 November 2007

KEKUATAN PENYEMBUH CINTA


Tahun ini kami menanti natal dengan perasaan cemas. Waktu itu tahun 1944, dan bagi keluarga kami perang terasa tak kunjung berakhir.
Telegram sudah dating di bulan agustus. Barang-barang pribadi Bob yang tak seberapa, bendera penutup kerandanya, peta tempat pemakamanya di kepulauan Filipina, dan lencana kehormatannya tiba satu persatu, dan semakin menambah kesedihan kami.
Lahir di kawasan padang rumput Midwest, abangku itu menunggu kuda ke sekolah, tetapi ingin menerbangkan pesawat sejak pertama kali melihat pesawat. Menjelang umurnya dua puluh satu, kami tinggal di Seatle, Washington. Ketika perang dunia II pecah, Bob mendatangi kantor perekrutan Angkatan Udara terdekat. Ramping dan kurus seperti ayahnya, berat badannya masih kurang 5 kilo.
Tanpa patah semangat, ia membujuk ibu agar memasak setiap makanan penggemuk yang ibu ketahui. Ia menjejali perutnya, bahkan sebelum makan maupun sesudah makan. Kami tertawa dan memanggilnya “si gendut.”
Di kantor Kadet Angkatan Laut, ia menimbang badannya, masih kurang satu setengah kilo. Ia putus asa. Teman-temannya sudah berangkat satu per satu, teman karibnya sudah di Korps Marinir Udara. Keesokan harinya ia makan setengah kilo dendeng penuh lemak, enam butir telur, dan lima buah pisang, minum dua gallon susu, dan dengan perut gendut seperti babi, ia kembali menapaki timbangan. Ia lolos uji penimbangan dengan kelebihan delapan ons.
Ketika ia ditunjuk sebagai Hot Pilot di sekolah pelatihan pertama di Pasco, Woshington. Dan secara sukarela bergabung dengan “Caterpillar Club.” Di St.Mary”s, California, kami menggeleng-gelengkan kepala dan khawatir. Ibu berdoa terus. Bob tidak mengenal takut sejak lahir, dan ibu tahu hal itu. Sebelum lulus dari Corpuse Christi, ia minta ditransfer ke Korps Marinir Udara di Pensacola, Florida. Ia berlatih dalam pesawat pembom torpedo sebelum dikirim ke seberang lautan.
Mereka bilang Bob tewas di bawah berondongan tembakan musuh di atas Papua Nugini dalam pesawat yang dulu begitu ingin ia terbangkan.
Aku tak pernah menangisi Bob. Di mataku terbayang abangku mengepak-ngepakan sayap diantara awan-awan, mengerjakan hal yang paling ia sukai, dengan mata biru bersinar-sinar penuh kecintaan pada hidup. Tetapi aku menangisi kesedihan yang tak pernah meninggalkan mata kedua orang tuaku.
Iman ibu berhasil menabahkan dirinya, tetapi ayah cepat menua di depan mata kami. Ayah memasang telinga dengan santun setiap kali pendeta datang berkunjung, tetapi kami tahu hatinya getir. Ia memaksakan diri bekerja kera setiap hari, tapi kehilangan minat pada hal lain, termasuk Masonic Club yang begitu dicintainya. Dulu ia sangat menginginkan cincin Masonic, dan atas desakan ibu ia mulai menabung untuk membeli cincin itu. Setelah Bob tiada, tentu saja tabungan itu pun terhenti.
Aku menunggu Natal dengan hati cemas. Bob sangat menyukai Natal. Semangatnya menbengkitkan gairah kami. Kejutan-kejutannya sangat mengesankan : sebuah rumah boneka yang dibuat di sekolah, sebuah gaun mahal buat ibu yang ia beli dengan hasil keringatnya yang pertama. Segala sesuatu harus mengandung kejutan.
Bagaimana Natal nanti tanpa Bob? Tak banyak berarti. Para paman, bibi, nenek akan dating, sehingga kami tetap harus menyiapkannya meskipun hanya demi kenangan masa lalu, tapi hati kami tidak di situ. Ayah duduk termenung dari hari ke hari, memandang keluar jendela dengan mata hampa, dan hati ibu sarat kekhawatiran.
Pada 23 Desember tibalah sebuah paket lain yang tampak begitu formal. Ayahku memperhatikan dengan wajah membatu sementara ibu mengeluarkan seragam biru Bob dari bungkusan itu. Semua membisu. Ketika ibu mellipat kembali seragam itu, munculah insting keibuannya, secara spontan ia menelusuri kantong-kantongnya dengan hati teriris.
Dalam sebuah kantong kecil di bagian dalam jaketnya terdapat selembar uang 50 dollar yang dilipat dengan rapi dengan tulisan kecil Bob yang kami hafal betul “untuk cincin Masonic ayah”. Sekalipun nanti aku berumur 100 tahun, aku tidak akan lupa pada wajah ayah. Suatu transformasi yang indah dan suatu sentuhan yang ketakjuban, sebuah kilasan kegembiraan, kedamaian tanpa kata-kata yang begitu indah untuk disaksikan. Oh, daya penyembuh cinta kasih. Kemudian ayah melangkah ke arah foto Bob yang tergantung di dinding dan beri hormat militer.
“Selamat Natal Nak”, gumamnya lalu berpaling untuk menyambut Natal.




Mary Sherman Hilbert
A 6th Bowl of Chicken Soup for the Soul

Tidak ada komentar: